AIR MATA RINDU

  • 0
Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan muncul. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan air matanya.


Waktu shalat telah tiba. Bilal Bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa, mengumandangkan adzan. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

Asyhadu an la ilaha illa Allah. Asyhadu an la ilaha ila Allah. Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

Asy..hadu.. an..na.. M.. Mu..hamm..mad... Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis disiram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad Bin Abdullah adalah Rasul Allah.

Asy...ha..du.. anna... Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih Allah untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak banyak orang yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar R.A. tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari mengumandangkan adzan.

Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah SAW berkelebat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah SAW memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah SAW menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, ”Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya." Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, ”Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa bendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat.

Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, ”Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.” Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat.

Bilal teringat, saat shalat ’id dan istisqa’ ia selalu berjalan di depan Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habsyah kepada Rasulullah SAW. Satu untuk dirinya sendiri, satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab R.A., dan satunya lagi ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih.

Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandangkan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad SAW, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Islam menaruh harapan yang besar kepadanya.

Umar Bin Khattab R.A. berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan ummat; Umar berupaya menyatukan ummat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya. Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.

Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk. ”Hanya sekali”, bujuk Umar. ”Ini semua untuk ummat. Ummat yang dicintai Muhammad, ummat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada ummat yang dicintai Muhammad?"

Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh.

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba. Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Asyhadu an la ilaha illa Allah. Asyhadu an la ilaha illa Allah.

Asyhadu anna Muhammad Rasulullah

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah, lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan menusuk urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

Asyhadu anna Muhammad Rasulullah.

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.

Hayya 'ala al-shalah. Hayya ’ala al-shalah.

Tak ada yang mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

Hayya ‘ala al-falah. Hayya ‘ala al-falah.

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menentang perintah-Nya?

La ilaha illa Allah.

Tiada tuhan selain Allah. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. Allah Maha Hidup dan tak akan pernah mati.

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Sang Khaliq.

”Jangan menangis!” katanya kepada istri. ”Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika Allah mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.”

Esoknya ia benar-benar dipanggil ke hadapan Tuhannya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.

Catatan:
  • Kisah tentang kerinduan dan kecintaan seorang sahabat yang sangat dalam kepada Rasulullah SAW.
  • Bertepatan dengan Maulid al-Rasul, tulisan ini dipetik untuk membangkitkan kerinduan dan kecintaan kita terhadap Rasulullah SAW.
  • Cinta tanpa ujian dan pembuktian hanya sekedar retorika. Bukankah seseorang akan rela melakukan apa saja yang disuruh atau disukai oleh orang yang dicintainya. Begitu pula sebaliknya, seseorang akan rela meninggalkan apa saja yang dilarang atau tidak disukai oleh orang yang dicintainya. Jadi, berusahalah mengamalkan segala sunnah Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupan sebagai bukti cinta kita kepadanya.
  • Semoga kita termasuk ke dalam ummat Rasulullah SAW yang layak mendapatkan syafaatnya pada hari akhirat kelak. Amin!.
  • Orang yang berjasa dalam menyampaikan kisah ini adalah Ustaz Abu Hawariyah (Allahumma irhamhu. Amin!). Sebelum menyampaikan kisah ini beliau berkata kira-kira begini, ”Saya akan menyampaikan sebuah kisah. Saya pernah menceritakannya di hadapan istri dan ia menangis mendengarnya.”
  • Kisah di ini dipetik dari sini.

KENANGAN INDAH BERSAMA FARHAM

  • 2

Hidup hanyalah peluang untuk membuat pilihan-pilihan. Pilihan yang benar ataupun sebaliknya. Setiap hari umur bertambah usia, berkurang. Hal itu bererti kematian kian mendekati kita. Tiada jalan lain yang harus dipilih melainkan jalan hidup yang benar. Bertahun-tahun telah berlalu. Kumpulan hari, bulan dan tahun terus berjalan tanpa pernah kembali lagi. Semoga Allah sentiasa merahmati dan meredhai perjalanan hidup yang telah kita pilih ini.

Kata-kata di atas saya kirimkan kepada sahabat saya yang tercinta, Mohd Farham Bin Mohd Zainuddin, pada tengah malam hari jadinya. Ketika itu saya memang bertekad menjadi orang pertama yang mengirimkan ucapan selamat hari jadi yang ke-20 kepadanya.

Masih segar di ingatan saya pada malam tersebut ia sedang tertidur nyenyak setelah baru saja mengalami sakit perut dan masalah pencernaan. Masih terkenang kamar yang ditempatinya begitu juga sepedanya yang diparkir di dekat tempat jemuran dekat kamarnya.

Keesokan harinya ketika kami berjumpa, Farham mengatakan kepada saya, "Rais, ana suka sangat mesej nta tu!" Wah! Saya merasa sangat bahagia saat itu. Bahkan jika mengenang kembali hal tersebut, hati saya terasa bahagia dan tersenyum sendiri. :)

Setiap memori bersama Farham selalu bisa menjadi motivasi bagi diri ini untuk terus bergerak. Saya yakin bukan hanya saya yang merasakan hal ini. Kawan-kawannya yang lain pasti juga merasakan hal yang sama. Mungkin ini yang disebut dengan umur yang barakah. Meskipun dia telah meninggal dunia hampir 5 tahun yang lalu. Tapi hawa kebaikan yang pernah ditiupkan tetap terasa hingga sekarang bahkan di masa yang akan datang.

Nak balik Kuantan setelah seminggu beraya kat Gual Ipoh, Tanah Merah, Kelantan. Saya nampak tembam sebab kat Kelantan sentiasa dihadapkan dengan juadah yang sedap-sedap belaka. :D T-shirt biru garis-garis, buah tangan dari Rantau Panjang. :)

DAFTAR KESYUKURAN (YANG TAK AKAN PERNAH HABIS)

  • 0
Kini aku tersenyum...
Kenapa aku lahir sebagai orang Aceh...

Kini aku tersenyum...
Kenapa aku lahir dalam keluarga besar dengan 10 orang bersaudara...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku bersekolah di MIN Banda Aceh, Dayah Jeumala Amal dan Dayah/Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa...

Kini aku tersenyum...
Bagaimana aku tidak lulus di LIPIA sehingga sempat nyantri di Citayam dan lembah Gunung Lawu...

Kini aku tersenyum...
Kenapa Engkau mentakdirkanku menjadi satu-satunya orang Indonesia yang belajar di Darul Quran JAKIM saat itu...

Kini aku tersenyum..
Kenapa aku berhari raya bersama Farham (Allahumma irhamhu! Amin!) dan keluarganya di Kelantan...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana Engkau menuntunku dan sahabat seperjuangan untuk berangkat bersama-sama dari Kuantan dengan Kenari Farham dan van biru Abang Anuar ke Tanah Merah...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana Engkau menempatkkanku menjadi bagian dari insan-insan istimewa...

Kini aku tersenyum...
Kenapa Engkau memperkenalkan aku dengannya...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku ditaklifkan beberapa amanah ketika belajar di Darul Quran JAKIM...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku menjadi salah satu lulusan terbaik Darul Quran JAKIM...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku tidak dapat pergi ke Syiria dan Madinah sehingga terpaksa membawa diri ke Jambi...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku menjadi bagian dari LDK Al-Uswah IAIN STS Jambi...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana Engkau mentakdirkan aku menemukan buku 'Rich Dad Poor Dad' yang membuat paradigmaku berubah seketika...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku dibuat 'gila' di Entrepreneur University dan Entrepreneur Camp...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana Engkau pernah membuatku memaknai perjuangan hidup sewaktu di Tanah Pilih Pesako Betuah...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku menjadi bagian dari keluarga besar Maahad Tahfiz Negeri Pahang...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku harus belajar dari banyak kejadian yang tidak aku harapkan...

Kini aku tersenyum...
Kenapa dan bagaimana aku mengalami banyak kejadian mengejutkan di dalam hidupku...

Kini aku tersenyum...
Menerima sedikit rahasia dari-Mu..

Gratitude must go on