TRAGEDI NOL BUKU, TRAGEDI KITA BERSAMA

  • 0
Oleh: Taufiq Ismail

APA KATA MEREKA TENTANG BUKU?

Buku adalah pengusung peradaban
Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet

Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, “mercusuar” seperti kata seorang penyair,
“yang dipancangkan di samudera waktu”
[Barbara Tuchman, 1989]

Buku adalah jendela
Sukma kita melihat dunia luar lewat jendela ini
Rumah tanpa buku bagaikan ruangan tak berjendela
[Henry Ward Beecher, 1870]

Buku itu seperti taman yang bisa dimasukkan ke dalam kantong
[Pepatah Tiongkok]

Buku adalah benda luar biasa
Buku itu seperti taman indah penuh dengan bunga aneka-warna,
seperti permadani terbang
yang sanggup melayangkan kita
ke negeri-negeri tak dikenal sebelumnya
[Frank Gruber, 1944]

Buku menghirup udara dan menghembuskan minyak wangi
[Eugene Field, 1896]

Buku harus menjadi kampak
untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita
[Franz Kafka, 1883-1924, cerpenis dan novelis Austria]

Tanpa buku Tuhan diam,
keadilan terbenam,
sains alam macet,
sastra bisu,
dan seluruhnya dirundung kegelapan
[Thomas V. Bartholin, 1672]

Buku adalah teman paling pendiam dan selalu siap di tempat,
penasehat yang paling mudah ditemui dan paling bijaksana,
serta guru yang luar biasa sabar
[Charles W. Eliot, 1896]

Saya tidak membaca buku
Saya berbicara dengan pengarangnya
[Elbert Hubbard, 1927]

Buku berfikir untuk saya
[Charles Lamb]

Buku itu cermin
Kalau keledai bercermin disitu,
Tak akan muncul wajah ulama
[G.C. Lichtenberg]

Buku sebenarnya bukanlah yang kita baca,
tapi buku yang membaca kita
[W.H. Auden, 1973]

Wanita piaraan saya
buku
[S.J. Adair Fitzgerald]

Kalau ada uang sedikit, saya beli buku
Kalau masih ada sisanya,
saya beli makanan dan pakaian
[Desiderius Erasmus]

Biarlah saya jadi orang miskin,
tinggal di gubuk tapi punya buku banyak
daripada jadi raja tapi tak suka membaca
[Thomas B. Macaulay, 1876]

Banyak orang seperti saya
Orang yang perlu buku, seperti mereka perlu udara
[Richard Marek, 1987]

Saya tak bisa hidup tanpa buku
[Thomas Jefferson, 1815]

Duduk sendirian di bawah sinar lampu,
buku terkembang di depan,
bercakap-cakap secara akrab dengan manusia dari generasi yang tak tampak
Sungguh suatu kenikmatan yang tak bertara
[Yoshida Kenko, 1688]

Kebiasaan membaca itu satu-satunya kenikmatan yang murni
Ketika kenikmatan lain pudar, kenikmatan membaca tetap bertahan
[Anthony Trollope]

Orang mana bisa tahu tentang waktu yang dihabiskan
dan susah payahnya belajar membaca (buku)
Saya sudah 80 tahun berusaha,
belum juga mencapai tujuan
[Goethe]

Seseorang kehilangan kontak dengan kenyataan
bila tidak dikelilingi buku-bukunya
[Francois Mitterand, Presiden Perancis, 1982]

Seperti daging untuk jasmani, begitulah bacaan untuk jiwa
[Seneca]

Membaca buku bagus
Seperti bercakap-cakap dengan orang hebat
dari abad-abad terdahulu
[Rene Descartes, 1617]

Orang dapat memperoleh pendidikan kelas atas dari rak buku sepanjang lima kaki
[Charles William Eliot, Rektor Universitas Harvard]

Universitas sejati hari ini
adalah sebuah kumpulan buku
[Thomas Carlyle]

Saya akan menyudahi pendahuluan ini dengan mengutip ucapan Jorge Luis Borge, penyair, cerpenis dan esais Argentina (1899 - 1986), Direktur Perpustakaan Nasional Argentina (1955 - 1973) tentang perpustakaan yang mengatakan, "Saya selalu membayangkan surga itu seperti semacam perpustakaan."


KENAPA ORANG INDONESIA (SEDIKIT, SANGAT SEDIKIT, LUAR BIASA SEDIKIT) MEMBACA BUKU

Kenapa di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya pasasir Indonesia tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Kenapa di bus Pekanbaru-Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi menghisap rokok? Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main gaplek? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca buku kumpulan puisi, tapi main domino? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama tapi asyik main sms?

Ada 4-5 teori kuno yang mencoba menjelaskan sebab defisiensi budaya yang sudah luar biasa parah ini, dan sudah berlangsung 55 tahun lamanya, tapi saya jemu dan tidak akan mengulanginya.

Etiologi dari epidemi ini, sebab utama penyakit kronis ini terletak sejak dari hulu sampai hilir aliran sungai lembaga pendidikan kita, yaitu TERLANTARNYA KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA. Mari kita teropong masalah ini, dengan mempertajam fokus lensa pengamatan ke SMA.

Agar diperoleh perbandingan yang menguntungkan, kita luaskan pandangan ke SMA 13 negara, sebagai berikut ini.

Antara Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara. Saya bertanya tentang:
1) Kewajiban membaca buku,
2) Tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
3) Bimbingan menulis dan
4) Pengajaran sastra di tempat mereka.

Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:

Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara

No - Asal Sekolah - Buku Wajib - SMA/Kota - Tahun
1 - SMA Thailand Selatan - 5 judul - Narathiwat - 1986-1991
2 - SMA Malaysia - 6 judul - Kuala Kangsar - 1976-1980
3 - SMA Singapura - 6 judul - Stamford College - 1982-1983
4 - SMA Brunei Darussalam - 7 judul - SM Melayu I - 1966-1969
5 - SMA Rusia Sovyet - 12 judul - Uva - 1980-an
6 - SMA Kanada - 13 judul - Canterbury - 1992-1994
7 - SMA Jepang - 15 judul - Urawa - 1969-1972
8 - SMA Internasional, Swiss - 15 judul - Jenewa - 1991-1994
9 - SMA Jerman Barat - 22 judul - Wanne-Eickel - 1966-1975
10 - SMA Perancis - 30 judul - Pontoise - 1967-1970
11 - SMA Belanda - 30 judul - Middleburg - 1970-1973
12 - SMA Amerika Serikat - 32 judul - Forest Hills - 1987-1989
13 - AMS Hindia Belanda A - 25 judul - Yogyakarta - 1939-1942
14 - AMS Hindia Betarida B - 15 judul - Malang - 1929-1932
15 - SMA Indonesia - 0 judul - Di Mana Saja - 1943-2005

Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama.

Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca cuma ringkasannya, 3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5) tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 62 tahun lamanya, dengan kekecualian luar biasa sedikit pada beberapa SMA saja.

Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan). Nol buku.

Tapi kita tahu 3 puisi Chairil Anwar (“Aku”, “Krawang-Bekasi”, “Senja di Pelabuhan Kecil”), kenal jalan cerita novel Layar Terkembang, dan pernah dengar-dengar Rendra lahir di kota mana gerangan. Dengan kriteria di atas, kita seharusnya tamat 72 puisi dan 7 prosa Chairil (bukunya Derai-derai Cemara setebal 132 halaman), baca tamat Layar Terkembang (bukan tahu plotnya karena baca sinopsisnya saja), dan baca tamat kumpulan puisi Balada Orang Tercinta.

Di SD kita diberi tahu tentang awalan, sisipan dan akhiran. Di SMP kita dilatih menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Di SMA kita diperiksa menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Sastra diajarkan dalam definisi-definisi, seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus, mirip ilmu kimia.

Latihan mengarang mendekati Nol Karangan. Rejim Linguistik menguasai pelajaran bahasa dan sastra lebih dari setengah abad lamanya. Siswa tidak diberi kesempatan berenang di danau kesusastraan dengan nikmatnya.

Siswa AMS wajib menulis karangan, 1 karangan seminggu. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan lancar.

Kewajiban menulis karangan di SMA kini antara 1 kali setahun (mirip shalat Idul Fitri) sampai 5 kali setahun (pastilah di SMA favorit yang mahal itu). Dibanding dengan AMS, yah, sekitar 5,2 persen. Ratusan ribu siswa pasti pernah menulis karangan dengan judul ”Cita-citaku” dan “Berlibur di Rumah Nenek”.

Tragedi Nol Buku ini hampir tidak masuk akal bila kita mendapatkan fakta bahwa siswa Algemene Middelbare School (AMS, SMA zaman Belanda dulu) Yogya wajib baca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman Barat) hari ini. Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis (responden Rosihan Anwar, 1997).

Tragedi Nol Buku ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar. Ketika saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri Wardiman Djojonegoro (1997), beliau terkejut. “Sudah demikian burukkah keadaannya?”, tanyanya. “Ya”, jawab saya.

Mari kita kilas batik ke tahun 1942-1945, dan kita dengar apa kata Asrul Sani (1999):

Kelompok sastrawan masa itu (pendudukan Jepang) gila membaca. Buku-buku orang Belanda, yang diinternir Jepang, banyak diloakkan di Pasar Senen, sehingga asal rajin ke sana, banyak bisa memperoleh karya sastra dunia, di samping buku-buku sastra Belanda. Rivai Apin, Idrus juga tukang baca.
Idrus fanatik pada IIya Ehrenburg. Di Jalan Juanda dulu ada dua toko buku. Toko Buku Van Dorp, yang sekarang jadi kantor Astra, dan Toko Buku Kolff. Koleksinya luar biasa. Saya dan Chairil Anwar suka juga mencuri buku di sana.
Tapi kewajiban baca 25 buku itu tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak. Sastra cuma medium tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum.

Seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta.

Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.

Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku”, kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup.

Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 55 tahun lamanya, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang); mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, dengan rentang umur antara 35 - 70 tahun.

MEREKA INI, DENGAN SEDIKIT KEKECUALlAN, HAMPIR SEMUA BERBEKAL NOL BUKU KETIKA BERSEKOLAH, TIDAK MENDAPAT KESEMPATAN UNTUK DITANAMKAN RASA KETAGIHAN MEMBACA BUKU, KECINTAAN PADA BUKU, KEINGINAN BERTANYA KEPADA BUKU DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN DAN KEBIASAAN MENGUNJUNGI PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT MERUJUK SUMBER ILMU PENGETAHUAN.

Tentulah etiologi penyakit budaya ini mesti disembuhkan. Kita perbaiki bersama pengajaran membaca dan menulis di sekolah-sekolah kita, sejak SD, sampai SMP dan SMA. Komponen luar biasa penting dalam ikhtiar perbaikan ini adalah perpustakaan.

Ketika masih siswa SMA di Pekalongan, pada tahun 1955 dan 1956, saya pernah menjadi penjaga perpustakaan pelajar, yang diamanatkan Djawatan Pendidikan Masjarakat kepada organisasi Peladjar Islam Indonesia. Perpustakaan kami dibuka sekali sepekan, pada hari Minggu saja, di beranda rumah orangtua saya, Jalan Bandung 60. Jumlah buku sekitar 300 judul. Saya dan sahabat saya S.N. Ratmana menjadi administraturnya mencatat lalu-lintas buku, menagih yang terlambat, mengembalikan, menjaga kebersihan dan mengatur keuangan.

Anggota kami siswa SMP, SMA dan PGA. Sebagai pemegang kunci perpustakan, sebagai “bos” saya bebas membaca tanpa biaya. Demikianlah saya kenyang membaca semua novel Karl May tentang Winnetou, Pudjangga Baru, Angkatan 45, sampai juga buku tuntunan bertanam anggrek karangan Sutan Sanif dan buku Cara Mengecor Beton Bertulang Prof. Ir. Rooseno. Kecil-kecilan di kalangan siswa SMA Pekalongan dulu saya adalah seorang “pustakawan".

Sebagai penutup saya menyampaikan harapan, marilah kita jadikan perpustakaan bukan saja rujukan utama ilmu pengetahuan, tapi tempat yang sejuk dan teduh bagi manusia Indonesia (sedikit di bawah surga yang diimpikan Jorge Luis Borge), berumur 5 sampai 85 tahun, yang memberikan pencerahan pada akal dan sukma kita, menuju peradaban Indonesia yang mendapat naungan Tuhan Yang Maha Rahim dan Rahman. Amin. - Jakarta, 30 Mei 2005.


KUPU-KUPU DI DALAM BUKU

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api,
di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,
di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika bertandang di sebuah toko,
warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang.

Ketika singgah di sebuah rumah,
kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu putrinya, kemudian katanya,
“tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu”,
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang.

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di stasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.

Taufiq Ismail, 1996

Sumber: Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama oleh Taufiq Ismail yang disampaikan dalam pidato kunci pada Rakerpus IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia), 31 Mei - 3 Juni 2005 di Pekan Baru.

No comments:

Post a Comment