TIPS MEMILIH JODOH | ANTARA SHALAT DAN JODOH

  • 0


Wanita dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan selamat. (H.R. bukhari dan Muslim)

Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa mendirikannya, maka dia telah mendirikan agama. Dan barangsiapa meninggalkannya, maka dia telah menghancurkan agama. (Hadis)

Saya yakin ramai yang pernah mendengar bahkan mengingat kedua hadis di atas. Hadis yang pertama adalah salah satu dari sekian banyak hadis Nabi SAW yang menjadi pedoman bagi yang akan mendirikan rumah tangga. Sedangkan yang kedua adalah hadis tentang kepentingan menjaga shalat wajib 5 waktu.

Mungkin sudah banyak pembahasan tentang hadis di atas. Tapi rasanya tidak salah kalau saya ikut mencoba untuk membahas kaitan antara shalat dan pemilihan pasangan (jodoh).

Kalau kita perhatikan perintah shalat dalam Alqur'an, kita akan menemukan bahwa perintah itu selalu dimulai dengan alif qaf dan mim yang biasa diterjemahkan dengan mendirikan, meskipun sebenarnya terjemahan tersebut kurang tepat. Karena menurut al-Qurtuby dalam tafsirnya, aqimu bukan diambil dari kata qama yang berarti berdiri tetapi kata itu mempunyai makna bersinambung dan sempurna. Sehingga perintah shalat tersebut berarti melaksanakannya dengan baik, khusyu' dan bersinambung sesuai dengan cara yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW.

Lalu, apa kaitannya antara shalat dan jodoh? Saya akan menjawab dengan pertanyaan. Bukankah shalat itu tiang agama? Dan bukankah memilih jodoh yang baik itu karena agamanya? Kalau kita membahas tentang agama secara menyeluruh, pembahasannya akan sangat luas. untuk itu saya mengambil shalat sebagai kayu ukur (sample) dalam menentukan kualitas agama seseorang. Jadi bagi yang ingin menentukan pilihan jodoh (terutama bagi perempuan), perhatikanlah shalat calon pendamping hidup Anda!

Apakah (1) shalatnya masih tinggal-tinggal atau (2) shalatnya lengkap 5 waktu tapi sering atau kadang dilakukan pada waktu injury time. Atau (3) shalatnya lengkap 5 waktu dan sering di awal waktu tapi belum berjamaah. Atau (4) shalat 5 waktunya berjamaah tapi belum semua. Biasanya hanya shalat maghrib yang dilakukan dengan berjamaah. Atau (5) shalat 5 waktunya selalu berjamaah di masjid atau surau. Hanya uzur yang disyariatkan saja yang menghalanginya untuk tidak berjamaah di mesjid atau surau.

Itu baru dari segi zhahir, apa yang bisa dilihat. Belum termasuk yang bathin (bukan shalat bathin ya!), yang tidak bisa dilihat seperti ilmunya tentang shalat, niat, bacaan, khusyu' dan sebagainya (kalau masih ada). 

Kalau calon Anda adalah jenis yang (1) atau (2), saya sangat menyarankan supaya Anda tidak meneruskan niat Anda untuk menikah dengannya. Mungkin Anda menganggap bahwa dia bisa berubah setelah menikah dan punya anak. Silakan Anda beranggapan demikian, saya hanya menyarankan. Sebab pada pendapat saya, orang yang melengah-lengahkan shalat apa lagi sampai meninggalkannya adalah orang yang tidak amanah kepada Allah SWT dan dirinya sendiri. Kalau dengan Allah SWT dan diri sendiri saja dia sudah biasa berkhianat, maka sangat mungkin dia juga bisa berbuat demikian kepada Anda dan keluarga.

Sedangkan yang (3) dan (4), masih bisa dipertimbangkan. Tapi kalau ada yang (5) bukan berarti tidak perlu mempertimbangkan hal lainnya. Karena itu baru aspek shalat, belum termasuk aspek agama yang lainnya. Tapi kalau shalat yang tiang agama, hal yang membedakan antara seorang muslim dan kafir (H.R. Muslim, Kitab al-Iman: 82), juga hal yang pertama kali dihisab paha hari akhirat (H.R. Tirmidzi: 413 dan Ibn Majah: 1425) saja sudah tampak cacat, kira-kira bagaimana pula dengan aspek agama yang lain?

Manusia bertindak berdasarkan dia tahu, mau dan mampu. Tentang tahu, Islam memang mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Bahkan wahyu pertama adalah tentang cara mendapatkan ilmu, baca. Namun sekedar tahu saja juga tidak cukup. Seseorang harus mau dan mampu membuktikan apa yang dia tahu dengan perbuatannya.

Karena berapa ramai lulusan sekolah agama bahkan pesantren tetapi belum mau dan mampu mengamalkan apa yang dia tahu. Berapa ramai yang bergelar sarjana, master, doktor dan bahkan profesor dalam bidang Islam yang kuliah dan ceramahnya di mana-mana tapi untuk melihatnya shalat berjamaah di masjid atau surau begitu susah. Padahal jarak rumahnya dengan tempat ibadah hanya beberapa langkah. Apakah kesibukannya selalu menghalanginya untuk shalat berjamaah? I dont think so.

No comments:

Post a Comment